Wednesday, October 8, 2008

kAkAk TuA



Kakatua (suku Cacatuidae) adalah jenis burung hias yang memiliki bulu yang indah dengan lengkingan suara yang cukup nyaring.spesies ini termasuk salah satu burung dengan kecerdasan yang cukup bagus, sehingga sering digunakan untuk acara-acara hiburan di kebun binatang atau tempat hiburan lainnya.

Spesies ini hidup pada ketinggian 0-1520 meter dari permukaan laut, biasanya berkelompok. Kakatua pada umumnya berusia panjang, hingga mencapai 60 tahun bahkan lebih.

[sunting] Jenis-jenis Kakatua

Jenis Kakatua-kecil Jambul-kuning (bahasa Inggris: Yellow-crested Cockatoo) biasanya hidup berpasangan atau berkelompok dalam jumlah kecil. Sangat mencolok ketika terbang, dengan kepakan sayap yang cepat dan kuat diselingi gerakan melayang serta saling meneriaki. Bila sedang bersuara dari tempat bertengger, jambul ditegakkan lalu diturunkan. Jenis ini tertekan dengan ledakan populasi yang mengejutkan selama 10-15 tahun terakhir, akibat penangkapan yang berlebihan untuk perdagangan burung dalam sangkar, dan sekarang langka akibat kegiatan ini.

[sunting] Habitat

Kakatua menghuni hutan primer dan sekunder yang tinggi dan tepi hutan; juga hutan monsun (Nusa Tenggara), hutan yang tinggi bersemak, semak yang pohonnya jarang dan lahan budidaya yang pohonnya jarang. Dari permukaan laut sampai ketinggian 900 m (Sulawesi), 1520 m (Lombok), 1000 m (Sumbawa), 700 m (Flores), 950+ m (Sumba) dan 500+ m (Timor). sedangkan untuk jenis Kakatua Maluku (bahasa Inggris: Salmon-crested Cockatoo) biasanya hidup sendiri, berpasangan dan kelompok kecil; dahulu di pohon tidur berkelompok hingga 16 ekor. Umumnya tidak mencolok, kecuali pada saat terbang ke dan dari lokasi pohon tidur ketika petang dan menjelang fajar. Walaupun terlihat terbang di atas kanopi tapi kebanyakan terbang di bawah batas kanopi. Mencari makan dengan tenang di kanopi dan lapisan tengah kanopi dan memiliki sebaran lokal di daerah Seram, Ambon, Haruku dan Saparua. Kakatua menghuni hutan primer dan sekunder yang tinggi, hutan yang rusak dan hidup diatas permukaan laut sampai ketinggian 1000 m.

kAkAk TuA

Kakatua (suku Cacatuidae) adalah jenis burung hias yang memiliki bulu yang indah dengan lengkingan suara yang cukup nyaring.spesies ini termasuk salah satu burung dengan kecerdasan yang cukup bagus, sehingga sering digunakan untuk acara-acara hiburan di kebun binatang atau tempat hiburan lainnya.

Spesies ini hidup pada ketinggian 0-1520 meter dari permukaan laut, biasanya berkelompok. Kakatua pada umumnya berusia panjang, hingga mencapai 60 tahun bahkan lebih.

[sunting] Jenis-jenis Kakatua

Jenis Kakatua-kecil Jambul-kuning (bahasa Inggris: Yellow-crested Cockatoo) biasanya hidup berpasangan atau berkelompok dalam jumlah kecil. Sangat mencolok ketika terbang, dengan kepakan sayap yang cepat dan kuat diselingi gerakan melayang serta saling meneriaki. Bila sedang bersuara dari tempat bertengger, jambul ditegakkan lalu diturunkan. Jenis ini tertekan dengan ledakan populasi yang mengejutkan selama 10-15 tahun terakhir, akibat penangkapan yang berlebihan untuk perdagangan burung dalam sangkar, dan sekarang langka akibat kegiatan ini.

[sunting] Habitat

Kakatua menghuni hutan primer dan sekunder yang tinggi dan tepi hutan; juga hutan monsun (Nusa Tenggara), hutan yang tinggi bersemak, semak yang pohonnya jarang dan lahan budidaya yang pohonnya jarang. Dari permukaan laut sampai ketinggian 900 m (Sulawesi), 1520 m (Lombok), 1000 m (Sumbawa), 700 m (Flores), 950+ m (Sumba) dan 500+ m (Timor). sedangkan untuk jenis Kakatua Maluku (bahasa Inggris: Salmon-crested Cockatoo) biasanya hidup sendiri, berpasangan dan kelompok kecil; dahulu di pohon tidur berkelompok hingga 16 ekor. Umumnya tidak mencolok, kecuali pada saat terbang ke dan dari lokasi pohon tidur ketika petang dan menjelang fajar. Walaupun terlihat terbang di atas kanopi tapi kebanyakan terbang di bawah batas kanopi. Mencari makan dengan tenang di kanopi dan lapisan tengah kanopi dan memiliki sebaran lokal di daerah Seram, Ambon, Haruku dan Saparua. Kakatua menghuni hutan primer dan sekunder yang tinggi, hutan yang rusak dan hidup diatas permukaan laut sampai ketinggian 1000 m.

buaya


Buaya

Buaya adalah reptil bertubuh besar yang hidup di air. Secara ilmiah, buaya meliputi seluruh spesies anggota suku Crocodylidae, termasuk pula buaya ikan (Tomistoma schlegelii). Meski demikian nama ini dapat pula dikenakan secara longgar untuk menyebut ‘buaya’ aligator, kaiman dan gavial; yakni kerabat-kerabat buaya yang berlainan suku.

Buaya umumnya menghuni habitat perairan tawar seperti sungai, danau, rawa dan lahan basah lainnya, namun ada pula yang hidup di air payau seperti buaya muara. Makanan utama buaya adalah hewan-hewan bertulang belakang seperti bangsa ikan, reptil dan mamalia, terkadang juga memangsa moluska dan krustasea bergantung pada spesiesnya. Buaya merupakan hewan purba, yang hanya sedikit berubah karena evolusi semenjak zaman dinosaurus.

Dikenal pula beberapa nama daerah untuk menyebut buaya, seperti misalnya buhaya (Sd.); baya atau bajul (Jw.; bicokok (Btw.), bekatak, atau buaya katak untuk menyebut buaya bertubuh kecil gemuk; senyulong, buaya jolong-jolong (Mly.), atau buaya julung-julung untuk menyebut buaya ikan; buaya pandan, yakni buaya yang berwarna kehijauan; buaya tembaga, buaya yang berwarna kuning kecoklatan; dan lain-lain.

Dalam bahasa Inggris buaya dikenal sebagai crocodile. Nama ini berasal dari penyebutan orang Yunani terhadap buaya yang mereka saksikan di Sungai Nil, krokodilos; kata bentukan yang berakar dari kata kroko, yang berarti ‘batu kerikil’, dan deilos yang berarti ‘cacing’ atau ‘orang’. Mereka menyebutnya ‘cacing bebatuan’ karena mengamati kebiasaan buaya berjemur di tepian sungai yang berbatu-batu.

Biologi dan perilaku

Buaya, seperti halnya dinosaurus, memiliki tulang-tulang iga yang termodifikasi menjadi gastralia
Buaya, seperti halnya dinosaurus, memiliki tulang-tulang iga yang termodifikasi menjadi gastralia

Di luar bentuknya yang purba, buaya sesungguhnya merupakan hewan melata yang kompleks. Tak seperti lazimnya reptil, buaya memiliki jantung beruang empat, sekat rongga badan (diafragma) dan cerebral cortex. Pada sisi lain, morfologi luarnya memperlihatkan dengan jelas cara hidup pemangsa akuatik. Tubuhnya yang "streamline" memungkinkannya untuk berenang cepat. Buaya melipat kakinya ke belakang melekat pada tubuhnya, untuk mengurangi hambatan air dan memungkinkannya mempertinggi kecepatan pada saat berenang. Jari-jari kaki belakangnya berselaput renang, yang meskipun tak digunakan sebagai pendorong ketika berenang cepat, selaput ini amat berguna tatkala ia harus mendadak berbalik atau melakukan gerakan tiba-tiba di air, atau untuk memulai berenang. Kaki berselaput juga merupakan keuntungan manakala buaya perlu bergerak atau berjalan di air dangkal.

Buaya dapat bergerak dengan sangat cepat pada jarak pendek, bahkan juga di luar air. Binatang ini memiliki rahang yang sangat kuat, yang dapat menggigit dengan kekuatan luar biasa, menjadikannya sebagai hewan dengan kekuatan gigitan yang paling besar. Tekanan gigitan buaya ini tak kurang dari 5.000 psi (pounds per square inch; setara dengan 315 kg/cm²)[1]; bandingkan dengan kekuatan gigitan anjing rottweiler yang cuma 335 psi, hiu putih raksasa sebesar 400 psi, atau dubuk (hyena) sekitar 800 – 1.000 psi. Gigi-gigi buaya runcing dan tajam, amat berguna untuk memegangi mangsanya. Buaya menyerang mangsanya dengan cara menerkam sekaligus menggigit mangsanya itu, kemudian menariknya dengan kuat dan tiba-tiba ke air. Oleh sebab itu otot-otot di sekitar rahangnya berkembang sedemikian baik sehingga dapat mengatup dengan amat kuat. Mulut yang telah mengatup demikian juga amat sukar dibuka, serupa dengan gigitan tokek. Akan tetapi sebaliknya, otot-otot yang berfungsi untuk membuka mulut buaya amat lemah. Para peneliti buaya cukup melilitkan pita perekat besar (lakban) beberapa kali atau mengikatkan tali karet ban dalam di ujung moncong yang menutup, untuk menjaganya agar mulut itu tetap mengatup sementara dilakukan pengamatan dan pengukuran, atau manakala ingin mengangkut binatang itu dengan aman. Cakar dan kuku buaya pun kuat dan tajam, akan tetapi lehernya amat kaku sehingga buaya tidak begitu mudah menyerang ke samping atau ke belakang.

Buaya memangsa ikan, burung, mamalia, dan kadang-kadang juga buaya lain yang lebih kecil. Reptil ini merupakan pemangsa penyergap; ia menunggu mangsanya hewan darat atau ikan mendekat, lalu menerkamnya dengan tiba-tiba. Sebagai hewan yang berdarah dingin, predator ini dapat bertahan cukup lama tanpa makanan, dan jarang benar-benar perlu bergerak untuk memburu mangsanya. Meskipun nampaknya lamban, buaya merupakan pemangsa puncak di lingkungannya, dan beberapa jenisnya teramati pernah menyerang dan membunuh ikan hiu.[2] Perkecualiannya adalah burung cerek Mesir, yang dikenal memiliki hubungan simbiotik dengan buaya. Konon, burung cerek ini biasa memakan hewan-hewan parasit yang berdiam di mulut buaya, dan untuk itu sang raja sungai membuka mulutnya lebar-lebar serta membiarkan si cerek masuk membersihkannya.

Patung Saint Theodore of Amasea menginjak seekor buaya (Venesia, Italia)
Patung Saint Theodore of Amasea menginjak seekor buaya (Venesia, Italia)

Pada musim kawin dan bertelur buaya dapat menjadi sangat agresif dan mudah menyerang manusia atau hewan lain yang mendekat. Di musim bertelur buaya amat buas menjaga sarang dan telur-telurnya. Induk buaya betina umumnya menyimpan telur-telurnya dengan dibenamkan di bawah gundukan tanah atau pasir bercampur dengan serasah dedaunan. Induk tersebut kemudian menungguinya dari jarak sekitar 2 meter.

Embrio buaya tak memiliki kromosom seksual, yakni kromosom yang menentukan jenis kelamin anak yang akan ditetaskan. Jadi tak sebagaimana manusia, jenis kelamin buaya tak ditentukan secara genetik. Alih-alih, jenis kelamin ini ditentukan oleh suhu pengeraman atau suhu sarang tempat telur ditetaskan. Pada buaya muara, suhu sekitar 31,6°C akan menghasilkan hewan jantan, sedikit lebih rendah atau lebih tinggi dari angka itu akan menghasilkan buaya betina. Masa pengeraman telur adalah sekitar 80 hari, tergantung pada suhu rata-rata sarang.[3]

Buaya ditengarai memiliki insting untuk kembali ke tempat tinggalnya semula (homing instinct).[4] [5] Tiga ekor buaya yang ganas di Australia Utara telah dipindahkan ke lokasinya yang baru, sejauh 400 km, dengan menggunakan helikopter. Akan tetapi dalam tiga minggu hewan-hewan ini diketahui telah tiba kembali di tempat asalnya. Kejadian ini terpantau melalui alat pelacak yang dipasang pada tubuh reptil tersebut.

Menurut pengetahuan sekarang, buaya memiliki kekerabatan yang lebih erat dengan burung dan dinosaurus, dibandingkan dengan kebanyakan reptil umumnya. Tiga kelompok yang pertama itu, ditambah dengan kelompok pterosaurus, digolongkan menjadi grup besar Archosauria (='reptil yang menguasai'[6]).[7]

[sunting] Umur

Tidak ada cara yang meyakinkan untuk menghitung umur buaya, selain dengan mengetahui waktu penetasannya dahulu, meskipun ada beberapa teknik yang telah dikembangkan. Metode yang paling umum digunakan untuk menaksir umur hewan ini ialah dengan menghitung lingkaran tumbuh pada tulang dan gigi. Tiap-tiap lapis lingkaran menggambarkan adanya perubahan pada laju pertumbuhan, yang mungkin disebabkan oleh perubahan musim kemarau dan hujan yang berulang setiap tahun. [3] Dengan tetap mengingat peluang ketidaktepatan metode ini, buaya yang tertua kemungkinan adalah spesies yang terbesar. Buaya muara (C. porosus) diperkirakan dapat hidup rata-rata hingga 70 tahun, dengan sedikit individu yang terbukti dapat melebihi umur 100 tahun. Salah satu buaya tertua yang tercatat, mati di kebun binatang Rusia pada usia sekitar 115 tahun.[3]

Seekor buaya air tawar jantan yang dipelihara di Kebun Binatang Australia diperkirakan berumur 130 tahun. Hewan ini diselamatkan Bob Irwin dan Steve Irwin dari alam liar setelah ditembak dua kali oleh pemburu. Akibat tembakan senjata itu, buaya tersebut (yang kini dijuluki sebagai "Mr. Freshy") kehilangan mata kanannya.[8]

[sunting] Ukuran

Ukuran tubuh buaya sangat bervariasi dari jenis ke jenis, mulai dari buaya kerdil hingga buaya muara raksasa. Spesies bertubuh besar dapat tumbuh lebih panjang dari 5 m dan memiliki berat melebihi 1.200 kg. Walaupun demikian, bayi-bayi buaya hanya berukuran sekitar 20 cm tatkala menetas dari telur. Spesies buaya terbesar adalah buaya muara, yang hidup di wilayah Asia Tenggara hingga ke Australia utara.

Ukuran terbesar buaya muara hingga kini masih diperdebatkan. Buaya terbesar yang pernah tercatat adalah seekor buaya muara raksasa sepanjang 8,6 m, yang tertembak oleh seorang guru sekolah di Australia.[2] Sedangkan buaya terbesar yang masih hidup adalah seekor buaya muara sepanjang 7,1 m di Suaka Margasatwa Bhitarkanika, Orissa, India. Pada bulan Juni 2006, rekornya dicatat pada The Guinness Book of World Records.[9]

Dua catatan lain yang terpercaya mengenai ukuran buaya terbesar adalah rekor dua ekor buaya sepanjang 6,2 m. Buaya yang pertama ditembak di Sungai Mary, Northern Territory, Australia pada 1974 oleh seorang pemburu gelap, yang kemudian diukur oleh seorang petugas kehutanan. Sedangkan buaya yang kedua dibunuh di Sungai Fly, Papua Nugini. Ukuran buaya kedua ini sebetulnya diperoleh dari kulit, yang diukur oleh Jerome Montague, seorang peneliti margasatwa. Dan karena ukuran kulit selalu lebih kecil (menyusut) dari ukuran hewan aslinya, dipercaya bahwa buaya kedua ini sedikitnya berukuran 10 cm lebih panjang ketika hidup.

Penangkaran Buaya Samutprakarn, Bangkok
Penangkaran Buaya Samutprakarn, Bangkok

Buaya terbesar yang pernah dipelihara di penangkaran adalah seekor blasteran buaya muara dengan buaya Siam yang diberi nama Yai (Th.: ใหญ่, berarti besar) (menetas pada 10 Juni 1972) di Kebun Penangkaran Buaya Samutprakarn yang terkenal di Thailand. Binatang melata ini memiliki panjang tubuh hingga 6 m dan berat mencapai 1.114,27 kg.

Buaya raksasa peliharaan yang lain adalah seekor buaya muara yang bernama Gomek. Hewan ini ditangkap oleh George Craig di Papua Nugini dan kemudian dijual ke St. Augustine Alligator Farm di Florida, Amerika. Buaya ini mati karena penyakit jantung pada Pebruari 1997 dalam usia yang cukup tua. Menurut catatan penangkaran tersebut, ketika mati Gomek memiliki panjang 5,5 m dan mungkin berusia antara 70–80 tahun.

Buaya Bhitarkanika yang terbesar diperkirakan sepanjang 7,62 m. Dugaan ini diperoleh para ahli berdasarkan ukuran sebuah tengkorak buaya yang disimpan oleh keluarga Kerajaan Kanika. Buaya tersebut kemungkinan ditembak mati di dekat Dhamara sekitar tahun 1926 dan kemudian tengkoraknya diawetkan oleh Raja Kanika ketika itu. Dugaan panjang di atas didapat melalui perhitungan, dengan mengingat bahwa panjang tengkorak buaya sekitar sepertujuh panjang total badannya.

Tuesday, October 7, 2008

Kuda


Kuda (Equus caballus atau Equus ferus caballus) adalah salah satu dari sepuluh spesies modern mamalia dari genus Equus. Hewan ini telah lama merupakan salah satu hewan ternak yang penting secara ekonomis, dan telah memegang peranan penting dalam pengangkutan orang dan barang selama ribuan tahun. Kuda dapat ditunggangi oleh manusia dengan menggunakan sadel dan dapat pula digunakan untuk menarik sesuatu, seperti kendaraan beroda, atau bajak. Pada beberapa daerah, kuda juga digunakan sebagai sumber makanan. Walaupun peternakan kuda diperkirakan telah dimulai sejak tahun 4500 SM, bukti-bukti penggunaan kuda untuk keperluan manusia baru ditemukan terjadi sejak 2000 SM.

Berat

Kuda-kuda yang ringan, seperti kuda Arab, Morgan, Quarter Horse, Paint dan Thoroughbred beratnya bisa mencapai sekitar 590 kg. Kuda yang "berat" atau kuda beban, seperti misalnya Clydesdale, Draft, Percheron, dan Shire beratnya dapat mencapai hingga 907 kg.

[sunting] Shio

Kuda terdapat dalam siklus binatang 12 tahun yang muncul dalam Zodiak Tionghoa yang terkait dengan Kalender Tionghoa. Menurut cerita rakyat Tionghoa, masing-masing binatang dihubungkan dengan ciri-ciri kepribadian tertentu, dan mereka yang lahir pada tahun kuda bersifat: cerdas, mandiri dan berjiwa merdeka. Lihat: Kuda (shio)

[sunting] Rujukan

  • Book of Horses: A Complete Medical Reference Guide for Horses and Foals, disunting oleh Mordecai Siegal. (Oleh dosen dan staf, Universitas California, Davis, Sekolah Kedokteran Hewan.) Harper Collins, 1996.
  • Illustrated Atlas of Clinical Equine Anatomy and Common Disorders of the Horse, oleh Ronald J. Riegal, D.V.M. dan Susan E. Hakola, B.S., R.N., C.M.I. Equistar Publications, Ltd., 1996.
  • International Commission on Zoological Nomenclature. 2003. Opinion 2027 (Case 3010). Usage of 17 specific names based on wild species which are pre-dated by or contemporary with those based on domestic animals (Lepidoptera, Osteichthyes, Mammalia): conserved. Bull.Zool.Nomencl., 60:81-84.

[sunting] Lihat pula

[sunting] Pranala luar

[sunting] Pranala luar untuk olah raga berkuda


lucu bangetzzz!!!

Mantra Bagi yang Botak

Category: SMS Lucu

Kit Jungkit Pak Klakak Ipit Tuipit Acap Tempel Etek Bata Bulu Tamabani Ili Gutut...
"SELAMAT ANDA BARU SAJA MEMBACA MANTRA MEMPERTEBAL BULU KETEK"

Kamu tau gak

Category: SMS Lucu

Aku tuh Suka sama K
Aku tuh suka sama Ka
Aku tuh suka sama kaosmu
Beliin donk

Kelabang mau sekolah


Hadiah Dari Kejutan SMS

Category: SMS Lucu

Seorang ibu memdapat kiriman sms, yang isinya: Selamat, anda berhak mendapatkan kalung, cincin dan gelang emas. Untuk konfirmasi ukuran, segera kirimkan potongan leher, potongan jari dan potongan tangan anda.

Category: SMS Lucu

Kelabang ingin masuk sekolah dan minta dibelikan baju serta sepatu .Ortu pingsan ,bayangkan berapa stel sepatu untuknya ...

Karunia Tuhan

Category: SMS Lucu

Lihatlah sekelilingmu itulah karunia Tuhan. Lihat juga meja makanmu, itulah berkat Tuhan. Sekarang lihatlah kecermin jelekkan?? Ya itulah cobaan Tuhan.. Sabar yah!!

Komodo, atau yang selengkapnya disebut biawak komodo (Varanus komodoensis[1]), adalah spesies kadal terbesar di dunia yang hidup di pulau Komodo, Rinca, Flores, Gili Motang, dan Gili Dasami di Nusa Tenggara.[2] Biawak ini oleh penduduk asli pulau Komodo juga disebut dengan nama setempat ora.[3]

Termasuk anggota famili biawak Varanidae, dan klad Toxicofera, komodo merupakan kadal terbesar di dunia, dengan rata-rata panjang 2-3 m. Ukurannya yang besar ini berhubungan dengan gejala gigantisme pulau, yakni kecenderungan meraksasanya tubuh hewan-hewan tertentu yang hidup di pulau kecil terkait dengan tidak adanya mamalia karnivora di pulau tempat hidup komodo, dan laju metabolisme komodo yang kecil.[4][5] Karena besar tubuhnya, kadal ini menduduki posisi predator puncak yang mendominasi ekosistem tempatnya hidup.[6]

Anatomi dan morfologi

Kulit komodo.
Kulit komodo.

Di alam bebas, komodo dewasa biasanya memiliki massa sekitar 70 kilogram[7], namun komodo yang dipelihara di penangkaran sering memiliki bobot tubuh yang lebih besar. Spesimen liar terbesar yang pernah ada memiliki panjang sebesar 3.13 meter dan berat sekitar 166 kilogram, termasuk berat makanan yang belum dicerna di dalam perutnya.[8] Meski komodo tercatat sebagai kadal terbesar yang masih hidup, namun bukan yang terpanjang. Reputasi ini dipegang oleh biawak Papua (Varanus salvadorii).[9] Komodo memiliki ekor yang sama panjang dengan tubuhnya, dan sekitar 60 buah gigi yang bergerigi tajam sepanjang sekitar 2.5 cm, yang kerap diganti.[10] Air liur komodo sering kali bercampur sedikit darah karena giginya hampir seluruhnya dilapisi jaringan gingiva dan jaringan ini tercabik selama makan.[11] Kondisi ini menciptakan lingkungan pertumbuhan yang ideal untuk bakteri mematikan yang hidup di mulut mereka.[12] Komodo memiliki lidah yang panjang, berwarna kuning dan bercabang.[8] Komodo jantan lebih besar daripada komodo betina, dengan warna kulit dari abu-abu gelap sampai merah batu bata, sementara komodo betina lebih berwarna hijau buah zaitun, dan memiliki potongan kecil kuning pada tenggorokannya. Komodo muda lebih berwarna, dengan warna kuning, hijau dan putih pada latar belakang hitam.

Fisiologi

Komodo yang berjemur.
Komodo yang berjemur.

Komodo tak memiliki indera pendengaran, meski memiliki lubang telinga.[13] Biawak ini mampu melihat hingga sejauh 300 m, namun karena retinanya hanya memiliki sel kerucut, hewan ini agaknya tak begitu baik melihat di kegelapan malam. Komodo mampu membedakan warna namun tidak seberapa mampu membedakan obyek yang tak bergerak.[14] Komodo menggunakan lidahnya untuk mendeteksi rasa dan mencium stimuli, seperti reptil lainnya, dengan indera vomeronasal memanfaatkan organ Jacobson, suatu kemampuan yang dapat membantu navigasi pada saat gelap.[15] Dengan bantuan angin dan kebiasaannya menelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri ketika berjalan, komodo dapat mendeteksi keberadaan daging bangkai sejauh 4—9.5 kilometer.[11] Lubang hidung komodo bukan merupakan alat penciuman yang baik karena mereka tidak memiliki sekat rongga badan.[16] Hewan ini tidak memiliki indra perasa di lidahnya, hanya ada sedikit ujung-ujung saraf perasa di bagian belakang tenggorokan.[15]

Sisik-sisik komodo, beberapa di antaranya diperkuat dengan tulang, memiliki sensor yang terhubung dengan saraf yang memfasilitasi rangsang sentuhan. Sisik-sisik di sekitar telinga, bibir, dagu dan tapak kaki memiliki tiga sensor rangsangan atau lebih.[11]

Komodo pernah dianggap tuli ketika penelitian mendapatkan bahwa bisikan, suara yang meningkat dan teriakan ternyata tidak mengakibatkan agitasi (gangguan) pada komodo liar. Hal ini terbantah kemudian ketika karyawan Kebun Binatang London ZSL, Joan Proctor melatih biawak untuk keluar makan dengan suaranya, bahkan juga ketika ia tidak terlihat oleh si biawak.[17]

Ekologi, perilaku dan cara hidup

Kaki dan ekor komodo.
Kaki dan ekor komodo.

Komodo secara alami hanya ditemui di Indonesia, di pulau Komodo, Flores dan Rinca dan beberapa pulau lainnya di Nusa Tenggara.[18] Hidup di padang rumput kering terbuka, sabana dan hutan tropis pada ketinggian rendah, biawak ini menyukai tempat panas dan kering ini. Mereka aktif pada siang hari, walaupun terkadang aktif juga pada malam hari. Komodo adalah binatang yang penyendiri, berkumpul bersama hanya pada saat makan dan berkembang biak. Reptil besar ini dapat berlari cepat hingga 20 kilometer per jam pada jarak yang pendek; berenang dengan sangat baik dan mampu menyelam sedalam 4.5 meter[19]; serta pandai memanjat pohon menggunakan cakar mereka yang kuat.[7] Untuk menangkap mangsa yang berada di luar jangkauannya, komodo dapat berdiri dengan kaki belakangnya dan menggunakan ekornya sebagai penunjang.[17] Dengan bertambahnya umur, komodo lebih menggunakan cakarnya sebagai senjata, karena ukuran tubuhnya yang besar menyulitkannya memanjat pohon.

Untuk tempat berlindung, komodo menggali lubang selebar 1–3 meter dengan tungkai depan dan cakarnya yang kuat.[20] Karena besar tubuhnya dan kebiasaan tidur di dalam lubang, komodo dapat menjaga panas tubuhnya selama malam hari dan mengurangi waktu berjemur pada pagi selanjutnya.[21] Komodo umumnya berburu pada siang hingga sore hari, tetapi tetap berteduh selama bagian hari yang terpanas.[22] Tempat-tempat sembunyi komodo ini biasanya berada di daerah gumuk atau perbukitan dengan semilir angin laut, terbuka dari vegetasi, dan di sana-sini berserak kotoran hewan penghuninya. Tempat ini umumnya juga merupakan lokasi yang strategis untuk menyergap rusa.[23]

Perilaku makan

Komodo di Rinca.
Komodo di Rinca.

Komodo adalah hewan karnivora. Walaupun mereka kebanyakan makan daging bangkai,[4] penelitian menunjukkan bahwa mereka juga berburu mangsa hidup dengan cara mengendap-endap diikuti dengan serangan tiba-tiba terhadap korbannya. Ketika mangsa itu tiba di dekat tempat sembunyi komodo, hewan ini segera menyerangnya pada sisi bawah tubuh atau tenggorokan.[11] Komodo dapat menemukan mangsanya dengan menggunakan penciumannya yang tajam, yang dapat menemukan binatang mati atau sekarat pada jarak hingga 9,5 kilometer.[11]

Komodo muda di Rinca yang makan bangkai kerbau.
Komodo muda di Rinca yang makan bangkai kerbau.

Reptil purba ini makan dengan cara mencabik potongan besar daging dan lalu menelannya bulat-bulat sementara tungkai depannya menahan tubuh mangsanya. Untuk mangsa berukuran kecil hingga sebesar kambing, bisa jadi dagingnya dihabiskan sekali telan. Isi perut mangsa yang berupa tumbuhan biasanya dibiarkan tak disentuh.[23] Air liur yang kemerahan dan keluar dalam jumlah banyak amat membantu komodo dalam menelan mangsanya. Meski demikian, proses menelan tetap memakan waktu yang panjang; 15–20 menit diperlukan untuk menelan seekor kambing. Komodo terkadang berusaha mempercepat proses menelan itu dengan menekankan daging bangkai mangsanya ke sebatang pohon, agar karkas itu bisa masuk melewati kerongkongannya. Dan kadang-kadang pula upaya menekan itu begitu keras sehingga pohon itu menjadi rebah.[23] Untuk menghindari agar tak tercekik ketika menelan, komodo bernafas melalui sebuah saluran kecil di bawah lidah, yang berhubungan langsung dengan paru-parunya.[11] Rahangnya yang dapat dikembangkan dengan leluasa, tengkoraknya yang lentur, dan lambungnya yang dapat melar luar biasa memungkinkan komodo menyantap mangsa yang besar, hingga sebesar 80% bobot tubuhnya sendiri dalam satu kali makan.[24][6] Setelah makan, komodo menyeret tubuhnya yang kekenyangan mencari sinar matahari untuk berjemur dan mempercepat proses pencernaan. Kalau tidak, makanan itu dapat membusuk dalam perutnya dan meracuni tubuhnya sendiri. Dikarenakan metabolismenya yang lamban, komodo besar dapat bertahan dengan hanya makan 12 kali setahun atau kira-kira sekali sebulan.[11] Setelah daging mangsanya tercerna, komodo memuntahkan sisa-sisa tanduk, rambut dan gigi mangsanya, dalam gumpalan-gumpalan bercampur dengan lendir berbau busuk, gumpalan mana dikenal sebagai gastric pellet. Setelah itu komodo menyapukan wajahnya ke tanah atau ke semak-semak untuk membersihkan sisa-sisa lendir yang masih menempel; perilaku yang menimbulkan dugaan bahwa komodo, sebagaimana halnya manusia, tidak menyukai bau ludahnya sendiri.[11]

Dalam kumpulan, komodo yang berukuran paling besar biasanya makan lebih dahulu, diikuti yang berukuran lebih kecil menurut hirarki. Jantan terbesar menunjukkan dominansinya melalui bahasa tubuh dan desisannya; yang disambut dengan bahasa yang sama oleh jantan-jantan lain yang lebih kecil untuk memperlihatkan pengakuannya atas kekuasaan itu. Komodo-komodo yang berukuran sama mungkin akan berkelahi mengadu kekuatan, dengan cara semacam gulat biawak, hingga salah satunya mengaku kalah dan mundur; meskipun adakalanya yang kalah dapat terbunuh dalam perkelahian dan dimangsa oleh si pemenang.[11]

Mangsa biawak komodo amat bervariasi, mencakup aneka avertebrata, reptil lain (termasuk pula komodo yang bertubuh lebih kecil), burung dan telurnya, mamalia kecil, monyet, babi hutan, kambing, rusa, kuda, dan kerbau. Komodo muda memangsa serangga, telur, cecak, dan mamalia kecil.[4][24] Kadang-kadang komodo juga memangsa manusia dan mayat yang digali dari lubang makam yang dangkal.[17] Kebiasaan ini menyebabkan penduduk pulau Komodo menghindari tanah berpasir dan memilih mengubur jenazah di tanah liat, serta menutupi atasnya dengan batu-batu agar tak dapat digali komodo.[23] Ada pula yang menduga bahwa komodo berevolusi untuk memangsa gajah kerdil Stegodon yang pernah hidup di Flores.[25] Komodo juga pernah teramati ketika mengejutkan dan menakuti rusa-rusa betina yang tengah hamil, dengan harapan agar keguguran dan bangkai janinnya dapat dimangsa; suatu perilaku yang juga didapati pada predator besar di Afrika.[25]

Karena tak memiliki sekat rongga badan, komodo tak dapat menghirup air atau menjilati air untuk minum (seperti kucing). Alih-alih, komodo ‘mencedok’ air dengan seluruh mulutnya, lalu mengangkat kepalanya agar air mengalir masuk ke perutnya.[11]

Bisa dan bakteri

Pada akhir 2005, peneliti dari Universitas Melbourne, Australia, menyimpulkan bahwa biawak Perentie (Varanus giganteus) dan biawak-biawak lainnya, serta kadal-kadal dari suku Agamidae, kemungkinan memiliki semacam bisa. Selama ini diketahui bahwa luka-luka akibat gigitan hewan-hewan ini sangat rawan infeksi karena adanya bakteria yang hidup di mulut kadal-kadal ini, akan tetapi para peneliti ini menunjukkan bahwa efek langsung yang muncul pada luka-luka gigitan itu disebabkan oleh masuknya bisa berkekuatan menengah. Para peneliti ini telah mengamati luka-luka di tangan manusia akibat gigitan biawak Varanus varius, V. scalaris dan komodo, dan semuanya memperlihatkan reaksi yang serupa: bengkak secara cepat dalam beberapa menit, gangguan lokal dalam pembekuan darah, rasa sakit yang mencekam hingga ke siku, dengan beberapa gejala yang bertahan hingga beberapa jam kemudian.[26]

Di samping mengandung bisa, air liur komodo juga memiliki aneka bakteri mematikan di dalamnya; lebih dari 28 bakteri Gram-negatif dan 29 Gram-positif telah diisolasi dari air liur ini.[27] Bakteri-bakteri tersebut menyebabkan septikemia pada korbannya; jika gigitan komodo tidak langsung membunuh mangsa dan mangsa itu dapat melarikan diri, umumnya mangsa yang sial ini akan mati dalam waktu satu minggu akibat infeksi. Bakteri yang paling mematikan di air liur komodo agaknya adalah bakteri Pasteurella multocida yang sangat mematikan; diketahui melalui percobaan dengan tikus laboratorium.[28] Karena komodo nampaknya kebal terhadap mikrobanya sendiri, banyak penelitian dilakukan untuk mencari molekul antibakteri dengan harapan dapat digunakan untuk pengobatan manusia.[29]

Reproduksi

Pada gambar ini, ekor dan cakar komodo dapat terlihat dengan jelas.
Pada gambar ini, ekor dan cakar komodo dapat terlihat dengan jelas.
Komodo yang tidur. Perhatikan kukunya yang besar. Kukunya digunakan untuk bertempur dan makan.
Komodo yang tidur. Perhatikan kukunya yang besar. Kukunya digunakan untuk bertempur dan makan.

Musim kawin terjadi antara bulan Mei dan Agustus, dan telur komodo diletakkan pada bulan September.[19] Selama periode ini, komodo jantan bertempur untuk mempertahankan betina dan teritorinya dengan cara "bergulat" dengan jantan lainnya sambil berdiri di atas kaki belakangnya. Komodo yang kalah akan terjatuh dan "terkunci" ke tanah. Kedua komodo jantan itu dapat muntah atau buang air besar ketika bersiap untuk bertempur.[17] Pemenang pertarungan akan menjentikkan lidah panjangnya pada tubuh si betina untuk melihat penerimaan sang betina.[6] Komodo betina bersifat antagonis dan melawan dengan gigi dan cakar mereka selama awal fase berpasangan. Selanjutnya, jantan harus sepenuhnya mengendalikan betina selama bersetubuh agar tidak terluka. Perilaku lain yang diperlihatkan selama proses ini adalah jantan menggosokkan dagu mereka pada si betina, garukan keras di atas punggung dan menjilat.[30] Kopulasi terjadi ketika jantan memasukan salah satu hemipenisnya ke kloaka betina.[14] Komodo dapat bersifat monogamus dan membentuk "pasangan," suatu sifat yang langka untuk kadal.[17][24]

Betina akan meletakkan telurnya di lubang tanah, mengorek tebing bukit atau gundukan sarang burung gosong berkaki-jingga yang telah ditinggalkan. Komodo lebih suka menyimpan telur-telurnya di sarang yang telah ditinggalkan.[31] Sebuah sarang komodo rata-rata berisi 20 telur yang akan menetas setelah 7–8 bulan.[17] Betina berbaring di atas telur-telur itu untuk mengerami dan melindunginya sampai menetas di sekitar bulan April, pada akhir musim hujan ketika terdapat sangat banyak serangga.[19]

Proses penetasan adalah usaha melelahkan untuk anak komodo, yang keluar dari cangkang telur setelah menyobeknya dengan gigi telur yang akan tanggal setelah pekerjaan berat ini selesai. Setelah berhasil menyobek kulit telur, bayi komodo dapat berbaring di cangkang telur mereka untuk beberapa jam sebelum memulai menggali keluar sarang mereka. Ketika menetas, bayi-bayi ini tak seberapa berdaya dan dapat dimangsa oleh predator.[11]

Komodo muda menghabiskan tahun-tahun pertamanya di atas pohon, tempat mereka relatif aman dari predator, termasuk dari komodo dewasa yang kanibal, yang sekitar 10% dari makanannya adalah biawak-biawak muda yang berhasil diburu.[32][17] Komodo membutuhkan tiga sampai lima tahun untuk menjadi dewasa, dan dapat hidup lebih dari 50 tahun.[20]

Di samping proses reproduksi yang normal, terdapat beberapa contoh kasus komodo betina menghasilkan anak tanpa kehadiran pejantan (partenogenesis), fenomena yang juga diketahui muncul pada beberapa spesies reptil lainnya seperti pada Cnemidophorus.[7]

Partenogenesis

Sungai, seekor komodo di Kebun Binatang London, telah bertelur pada awal tahun 2006 setelah dipisah dari jantan selama lebih dari dua tahun. Ilmuwan pada awalnya mengira bahwa komodo ini dapat menyimpan sperma beberapa lama hasil dari perkawinan dengan komodo jantan di waktu sebelumnya, suatu adaptasi yang dikenal dengan istilah superfekundasi.[33]

Pada tanggal 20 Desember 2006, dilaporkan bahwa Flora, komodo yang hidup di Kebun Binatang Chester, Inggris adalah komodo kedua yang diketahui menghasilkan telur tanpa fertilisasi (pembuahan dari perkawinan): ia mengeluarkan 11 telur, dan 7 di antaranya berhasil menetas[34]. Peneliti dari Universitas Liverpool di Inggris utara melakukan tes genetika pada tiga telur yang gagal menetas setelah dipindah ke inkubator, dan terbukti bahwa Flora tidak memiliki kontak fisik dengan komodo jantan. Setelah temuan yang mengejutkan ini, pengujian lalu dilakukan terhadap telur-telur Sungai dan mendapatkan bahwa telur-telur itupun dihasilkan tanpa pembuahan dari luar.[35]

Komodo memiliki sistem penentuan seks kromosomal ZW, bukan sistem penentuan seks XY. Keturunan Flora yang berkelamin jantan, menunjukkan terjadinya beberapa hal. Yalah bahwa telur Flora yang tidak dibuahi bersifat haploid pada mulanya dan kemudian menggandakan kromosomnya sendiri menjadi diploid; dan bahwa ia tidak menghasilkan telur diploid, sebagaimana bisa terjadi jika salah satu proses pembelahan-reduksi meiosis pada ovariumnya gagal. Ketika komodo betina (memiliki kromosom seks ZW) menghasilkan anak dengan cara ini, ia mewariskan hanya salah satu dari pasangan-pasangan kromosom yang dipunyainya, termasuk satu dari dua kromosom seksnya. Satu set kromosom tunggal ini kemudian diduplikasi dalam telur, yang berkembang secara partenogenetika. Telur yang menerima kromosom Z akan menjadi ZZ (jantan); dan yang menerima kromosom W akan menjadi WW dan gagal untuk berkembang.[36]

Diduga bahwa adaptasi reproduktif semacam ini memungkinkan seekor hewan betina memasuki sebuah relung ekologi yang terisolasi (seperti halnya pulau) dan dengan cara partenogenesis kemudian menghasilkan keturunan jantan. Melalui perkawinan dengan anaknya itu di saat yang berikutnya hewan-hewan ini dapat membentuk populasi yang bereproduksi secara seksual, karena dapat menghasilkan keturunan jantan dan betina.[36] Meskipun adaptasi ini bersifat menguntungkan, kebun binatang perlu waspada kerena partenogenesis mungkin dapat mengurangi keragaman genetika.[37]

Pada 31 Januari 2008, Kebun Binatang Sedgwick County di Wichita, Kansas menjadi kebun binatang yang pertama kali mendokumentasi partenogenesis pada komodo di Amerika. Kebun binatang ini memiliki dua komodo betina dewasa, yang salah satu di antaranya menghasilkan 17 butir telur pada 19-20 Mei 2007. Hanya dua telur yang diinkubasi dan ditetaskan karena persoalan ketersediaan ruang; yang pertama menetas pada 31 Januari 2008, diikuti oleh yang kedua pada 1 Pebruari. Kedua anak komodo itu berkelamin jantan.[38][39]

Evolusi

Perkembangan evolusi komodo dimulai dengan marga Varanus, yang muncul di Asia sekitar 40 juta tahun yang silam dan lalu bermigrasi ke Australia. Sekitar 15 juta tahun yang lalu, pertemuan lempeng benua Australia dan Asia Tenggara memungkinkan para biawak bergerak menuju wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang. Komodo diyakini berevolusi dari nenek-moyang Australianya pada sekitar 4 juta tahun yang lampau, dan meluaskan wilayah persebarannya ke timur hingga sejauh Timor. Perubahan-perubahan tinggi muka laut semenjak zaman Es telah menjadikan agihan komodo terbatas pada wilayah sebarannya yang sekarang.[40]

Komodo dan manusia

Koin Rupiah Indonesia yang bergambar Komodo.
Koin Rupiah Indonesia yang bergambar Komodo.

Penemuan

Komodo pertama kali didokumentasikan oleh orang Eropa pada tahun 1910. Namanya meluas setelah tahun 1912, ketika Peter Ouwens, direktur Museum Zoologi di Bogor, menerbitkan paper tentang komodo setelah menerima foto dan kulit reptil ini.[32][17] Nantinya, komodo adalah faktor pendorong dilakukannya ekspedisi ke pulau Komodo oleh W. Douglas Burden pada tahun 1926. Setelah kembali dengan 12 spesimen yang diawetkan dan 2 ekor komodo hidup, ekspedisi ini memberikan inspirasi untuk film King Kong tahun 1933.[41] W. Douglas Burden adalah orang yang pertama memberikan nama "Komodo dragon" kepada hewan ini.[22] Tiga dari spesimen komodo yang diperolehnya dibentuk kembali menjadi hewan pajangan dan hingga kini masih disimpan di Museum Sejarah Alam Amerika.[42]

Penelitian

Orang Belanda, karena menyadari berkurangnya jumlah hewan ini di alam bebas, melarang perburuan komodo dan membatasi jumlah hewan yang diambil untuk penelitian ilmiah. Ekspedisi komodo terhenti semasa Perang Dunia II, dan tak dilanjutkan sampai dengan tahun 1950an dan ‘60an tatkala dilakukan penelitian-penelitian terhadap perilaku makan, reproduksi dan temperatur tubuh komodo. Pada tahun-tahun itu, sebuah ekspedisi yang lain dirancang untuk meneliti komodo dalam jangka panjang. Tugas ini jatuh ke tangan keluarga Auffenberg, yang kemudian tinggal selama 11 bulan di Pulau Komodo di tahun 1969. Selama masa itu, Walter Auffenberg dan Putra Sastrawan sebagai asistennya, berhasil menangkap dan menandai lebih dari 50 ekor komodo.[29] Hasil ekspedisi ini ternyata sangat berpengaruh terhadap meningkatnya penangkaran komodo.[2] Penelitian-penelitian yang berikutnya kemudian memberikan gambaran yang lebih terang dan jelas mengenai sifat-sifat alami komodo, sehingga para biolog seperti halnya Claudio Ciofi dapat melanjutkan kajian yang lebih mendalam.[43]

Konservasi

Dua ekor komodo di Pulau Komodo
Dua ekor komodo di Pulau Komodo

Biawak komodo merupakan spesies yang rentan terhadap kepunahan, dan dikatagorikan sebagai spesies Rentan dalam daftar IUCN Red List.[44] Sekitar 4.000–5.000 ekor komodo diperkirakan masih hidup di alam liar. Populasi ini terbatas menyebar di pulau-pulau Rinca (1.300 ekor), Gili Motang (100), Gili Dasami (100), Komodo (1.700), dan Flores (mungkin sekitar 2.000 ekor).[2] Meski demikian, ada keprihatinan mengenai populasi ini karena diperkirakan dari semuanya itu hanya tinggal 350 ekor betina yang produktif dan dapat berbiak.[3] Bertolak dari kekhawatiran ini, pada tahun 1980 Pemerintah Indonesia menetapkan berdirinya Taman Nasional Komodo untuk melindungi populasi komodo dan ekosistemnya di beberapa pulau termasuk Komodo, Rinca, dan Padar.[45]

Belakangan ditetapkan pula Cagar Alam Wae Wuul dan Wolo Tado di Pulau Flores untuk membantu pelestarian komodo.[43] Namun pada sisi yang lain, ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa komodo, setidaknya sebagian, telah terbiasa pada kehadiran manusia. Komodo-komodo ini terbiasa diberi makan karkas hewan ternak, sebagai atraksi untuk menarik turis pada beberapa lokasi kunjungan.[4]

Aktivitas vulkanis, gempa bumi, kerusakan habitat, kebakaran (populasi komodo di Pulau Padar hampir punah karena kebakaran alami[43]),[11] berkurangnya mangsa, meningkatnya pariwisata, dan perburuan gelap; semuanya menyumbang pada status rentan yang disandang komodo. CITES (the Convention on International Trade in Endangered Species) telah menetapkan bahwa perdagangan komodo, kulitnya, dan produk-produk lain dari hewan ini adalah ilegal.[16]

Meskipun jarang terjadi, komodo diketahui dapat membunuh manusia. Pada tanggal 4 Juni 2007, seekor komodo diketahui menyerang seorang anak laki-laki berumur delapan tahun. Anak ini kemudian meninggal karena perdarahan berat dari luka-lukanya. Ini adalah catatan pertama mengenai serangan yang berakibat kematian pada 33 tahun terakhir.[46]

Penangkaran

Komodo di Kebun Binatang Toronto
Komodo di Kebun Binatang Toronto

Telah semenjak lama komodo menjadi tontonan yang menarik di pelbagai kebun binatang, terutama karena ukuran tubuh dan reputasinya yang membuatnya begitu populer. Meski demikian hewan ini jarang dipunyai kebun binatang, karena komodo rentan terhadap infeksi dan penyakit akibat parasit, serta tak mudah berkembang biak.[3]

Komodo yang pertama dipertontonkan adalah pada Kebun Binatang Smithsonian di tahun 1934, namun hewan ini hanya bertahan hidup selama dua tahun. Upaya-upaya untuk memelihara reptil ini terus dilanjutkan, namun usia binatang ini dalam tangkaran tak begitu panjang, rata-rata hanya 5 tahun di kebun binatang tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Walter Auffenberg di atas, yang hasilnya kemudian diterbitkan sebagai buku The Behavioral Ecology of the Komodo Monitor, pada akhirnya memungkinkan pemeliharaan dan pembiakan satwa langka ini di penangkaran.[2]

Telah teramati bahwa banyak individu komodo yang dipelihara memperlihatkan perilaku yang jinak untuk jangka waktu tertentu. Dilaporkan pada banyak kali kejadian, bahwa para pawang berhasil membawa keluar komodo dari kandangnya untuk berinteraksi dengan pengunjung, termasuk pula anak-anak di antaranya, tanpa akibat yang membahayakan pengunjung.[47][48] Komodo agaknya dapat mengenali orang satu persatu. Ruston Hartdegen dari Kebun Binatang Dallas melaporkan bahwa komodo-komodo yang dipeliharanya bereaksi berbeda apabila berhadapan dengan pawang yang biasa memeliharanya, dengan pawang lain yang kurang lebih sudah dikenal, atau dengan pawang yang sama sekali belum dikenal.[49]

Penelitian terhadap komodo peliharaan membuktikan bahwa hewan ini senang bermain. Suatu kajian mengenai komodo yang mau mendorong sekop yang ditinggalkan oleh pawangnya, nyata-nyata memperlihatkan bahwa hewan itu tertarik pada suara yang ditimbulkan sekop ketika menggeser sepanjang permukaan yang berbatu. Seekor komodo betina muda di Kebun Binatang Nasional di Washington, D.C. senang meraih dan mengguncangkan aneka benda termasuk patung-patung, kaleng-kaleng minuman, lingkaran plastik, dan selimut. Komodo ini pun senang memasuk-masukkan kepalanya ke dalam kotak, sepatu, dan aneka obyek lainnya. Komodo tersebut bukan tak bisa membedakan benda-benda tadi dengan makanan; ia baru memakannya apabila benda-benda tadi dilumuri dengan darah tikus. Perilaku bermain-main ini dapat diperbandingkan dengan perilaku bermain mamalia.[6]

Catatan lain mengenai kesenangan bermain komodo didapat dari Universitas Tennessee. Seekor komodo muda yang diberi nama "Kraken" bermain dengan gelang-gelang plastik, sepatu, ember, dan kaleng, dengan cara mendorongnya, memukul-mukulnya, dan membawanya dengan mulutnya. Kraken memperlakukan benda-benda itu berbeda dengan apa yang menjadi makanannya, mendorong Gordon Burghardt –peneliti– menyimpulkan bahwa hewan-hewan ini telah mementahkan pandangan bahwa permainan semacam itu adalah “perilaku predator bermotif-pemangsaan”.[50]

Komodo yang nampak jinak sekalipun dapat berperilaku agresif secara tak terduga, khususnya apabila teritorinya dilanggar oleh seseorang yang tak dikenalnya. Pada bulan Juni 2001, serangan seekor komodo menimbulkan luka-luka serius pada Phil Bronstein -- editor eksekutif harian San Francisco Chronicle dan bekas suami Sharon Stone, seorang aktris Amerika terkenal -- ketika ia memasuki kandang binatang itu atas undangan pawangnya. Bronstein digigit komodo itu di kakinya yang telanjang, setelah si pawang menyarankannya agar membuka sepatu putihnya, yang dikhawatirkan bisa memancing perhatian si komodo.[51][52] Meski pria itu berhasil lolos, namun ia membutuhkan pembedahan untuk menyambung kembali tendon ototnya yang terluka.[53]

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ Varanus komodoensis (TSN 202168). Integrated Taxonomic Information System. URL diakses 19 June 2007.
  2. ^ a b c d Trooper Walsh; Murphy, James Jerome; Claudio Ciofi; Colomba De LA Panouse. Komodo Dragons: Biology and Conservation (Zoo and Aquarium Biology and Conservation Series). Washington, D.C: Smithsonian Books. ISBN 1-58834-073-2.
  3. ^ a b c Endangered! Ora URL diakses pada 15 Januari 2007.
  4. ^ a b c d Chris Mattison, (1989 & 1992). Lizards of the World (Of the World). New York: Facts on File, pp. 16, 57, 99, 175. ISBN 0-8160-5716-8.
  5. ^ Burness G, Diamond J, Flannery T (2001). "Dinosaurs, dragons, and dwarfs: the evolution of maximal body size". Proc Natl Acad Sci U S A 98 (25): 14518-23.
  6. ^ a b c d Tim Halliday (Editor), Kraig Adler (Editor). Firefly Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. Hove: Firefly Books Ltd, 112, 113, 144, 147, 168, 169. ISBN 1-55297-613-0.
  7. ^ a b c Burnie, David; Don E. Wilson (2001). Animal. New York, New York: DK Publishing, Inc., 417, 420. ISBN 0-7894-7764-5.
  8. ^ a b Ciofi, Claudia. The Komodo Dragon. Scientific American, March 1999. URL diakses pada 21 Desember 2006
  9. ^ Komodo Dragon - An Information Resource - Fact Sheet. URL diakses pada 2008-03-13
  10. ^ Whozoo Komodo Dragon URL accessed December 21, 2006.
  11. ^ a b c d e f g h i j k l Tara Darling (Illustrator). Komodo Dragon: On Location (Darling, Kathy. on Location.). Lothrop, Lee and Shepard Books. ISBN 0-688-13777-6.
  12. ^ Komodo Dragon URL accessed December 21, 2006.
  13. ^ BBC - Science & Nature - Articles - The Komodo conundrum. URL diakses pada 2007-11-25
  14. ^ a b Komodo Dragon Fact Sheet - National Zoo. URL diakses pada 2007-11-25
  15. ^ a b Komodo Dragon - Background URL accessed April 13, 2007
  16. ^ a b Zipcodezoo.com - Varanus komodoensis URL accessed February 1, 2007.
  17. ^ a b c d e f g h text by David Badger; photography by John Netherton (2002). Lizards: a natural history of some uncommon creatures, extraordinary chameleons, iguanas, geckos, and more. Stillwater, MN: Voyageur Press, 32, 52, 78, 81, 84, 140-145, 151. ISBN 0-89658-520-4.
  18. ^ Sedgewick County Zoo information about Varanus Komodoensis Pranala diakses pada 21 Desember 2006.
  19. ^ a b c The Biogeography of the Komodo Dragon URL diakses pada 24 Februari 2007.
  20. ^ a b consultant editors, Harold G. Cogger & Richard G. Zweifel; illustrations by David Kirshner (1998). Encyclopedia of reptiles & amphibians. Boston: Academic Press, 132, 157-8. ISBN 0-12-178560-2.
  21. ^ Eric R. Pianka and Laurie J. Vitt; with a foreword by Harry W. Greene (2003). Lizards: windows to the evolution of diversity. Berkeley: University of California Press, 244. ISBN 0-520-23401-4.
  22. ^ a b Komodo National Park. URL diakses pada 2007-10-25
  23. ^ a b c d Alison Ballance; Morris, Rod. South Sea Islands: A Natural History. Hove: Firefly Books Ltd. ISBN 1-55297-609-2.
  24. ^ a b c The Reptipage: Komodo dragons URL accessed February 13, 2007.
  25. ^ a b Diamond, J (1987) "Did Komodo dragons evolve to eat pygmy elephants?" Nature 326(6116): 832-832
  26. ^ Fry, Brian G., et al.. Early evolution of the venom system in lizards and snakes. (PDF) URL diakses pada 2008-03-13
  27. ^ Montgomery JM, Gillespie D, Sastrawan P, Fredeking TM, Stewart GL (2002) "Aerobic salivary bacteria in wild and captive Komodo dragons" Journal of Wildlife Diseases 38 (3): 545-551
  28. ^ Feldman, Ruth Tenzer. "Dragon drool!(Animal Angles)(komodo dragons)(Brief article)." Odyssey 16.2 (Feb 2007): 49(1). Student Resource Center - Gold. Gale. 23 Oct. 2007 <http://find.galegroup.com/ips/start.do?prodId=IPS>.
  29. ^ a b Chasing the Magic Dragon - National Wildlife Magazine. URL diakses pada 2007-11-06
  30. ^ Komodo Dragon: Varanus komodoensis 1998 URL accessed January 24, 2007.
  31. ^ Jessop TS, Sumner J, Rudiharto H, Purwandana D, Imansyah MJ, Phillips JA (2004) "Distribution, use and selection of nest type by Komodo Dragons" Biological Conservation 117 (5): 463-470
  32. ^ a b Facts and Data on the Komodo Dragon URL diakses pada 5 Januari 2006.
  33. ^ Virgin Birth? No, Virgin Hatch.
  34. ^ Catatan kandangnya di Kebun Binatang Chester, Inggris
  35. ^ Wise men testify to Dragon's virgin birth - Times Online. URL diakses pada 2007-11-26
  36. ^ a b Virgin births for giant lizards
  37. ^ Watts PC, Buley KR, Sanderson S, Boardman W, Ciofi C, Gibson R (2006). "Parthenogenesis in Komodo Dragons". Nature 444 (7122): 1021-2. DOI:10.1038/4441021a.
  38. ^ Recent News - Sedgwick County Zoo. URL diakses pada 2008-02-12
  39. ^ Komodo dragons hatch with no male involved - Science - MSNBC.com. URL diakses pada 2008-02-12
  40. ^ Komodo Dragon - Evolution theory of the Komodo Dragon. URL diakses pada 2008-03-13
  41. ^ The Virtual Exploration Society: the Burden Expedition to Komodo Island URL accessed March 18, 2007.
  42. ^ American Museum of Natural History: Komodo Dragons. Retrieved 7 June 2007.
  43. ^ a b c Trapping Komodo Dragons for Conservation. URL diakses pada 2007-11-08
  44. ^ World Conservation Monitoring Centre (1996). Varanus komodoensis. 2006 IUCN Red List of Threatened Species. IUCN 2006. Diakses 11 May 2006. Listed as Vulnerable (VU B1+2cde v2.3) URL accessed December 21, 2006
  45. ^ The official website of Komodo National Park, Indonesia.. URL diakses pada 2007-02-02
  46. ^ Komodo dragon kills boy in Indonesia - Asia-Pacific - MSNBC.com. URL diakses pada 2007-06-07
  47. ^ Procter, J. B. 1928. On a living Komodo Dragon Varanus komodensis Ouwens, exhibited at the Scientific Meeting, October 23rd, 1928. Proc. Zool. Soc. London 1928:1017-1019.
  48. ^ Lederer, G. 1931. Erkennen wechselwarme Tiere ihren Pfleger? Wochenschr. Aquar.-Terrarienkunde 28: 636-638.
  49. ^ Murphy, J., and Walsh, T., 2006. Dragons and Humans. Herpetological Review, 37: 269-275.
  50. ^ "Such jokers, those Komodo dragons. (Reptiles)." Science News 162.5 (August 3, 2002): 78(1). Student Resource Center - Gold. Gale. 8 Oct. 2007 <http://find.galegroup.com/ips/start.do?prodId=IPS>.
  51. ^ Transcript: Sharon Stone vs. the Komodo Dragon
  52. ^ Phillip T. Robinson (2004). Life at the zoo: behind the scenes with the animal doctors. New York: Columbia University Press, 79. ISBN 0-231-13248-4.
  53. ^ "Tale of the Dragon. (World News)." National Geographic World (Nov 2001): 7(1). Student Resource Center - Gold. Gale. 23 Oct. 2007 <http://find.galegroup.com/ips/start.do?prodId=IPS>.